Al-Afaatul
Lisan (Bahaya Lidah)
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Assolatuwassalam
wa’ala asrofil anbiya’iwarmusalin ..Wa’ala alihi washohbihi ajmain amma ba’du. Puji
syukur kepada tuhan seluruh sekalian alam, Allah SWT. Atas rahmat dan
hidayahnya kita dapat berkumpul lagi pada hari ini disini. Shalawat serta salam
selalu kita junjung kepada nabi besar SAW. Serta pengikutnya hingga akhir
jaman.
Pada
siang hari ini saya, Naufal Aditya Dirgandhavi, akan berkultum yang berjudul
Al-Afaatul Lisan atau Bahaya Lidah
DUA
hal penting yang sering diingatkan Islam kepada kita-manusia- adalah menjaga
dan memelihara dengan baik lidah dan tingkah laku. Rasulullah saw. berpesan
kepada kita semua yaitu,"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Qiyamat
hendaklah berkata yang baik atau diam." Pesan ini menekankan tentang
pentingnya menjaga tutur kata, tidak mengucapkan hal yang buruk dan menyakiti
hati, karena bertutur sembarang tanpa pikir akan membawa kepada krisis lain
yaitu permusuhan, kekacauan bahkan pertumpahan darah.
Maka
dengan menjaga lidah dan tutur kata, dapat dipastikan akan terjalinnya
kehidupan yang tenteram, damai dan sejahtera di tengah masyarakat sepanjang
masa. Dalam konteks inilah Rasulullah saw berpesan supaya menjaga lidah dan
tingkah laku agar tidak mengganggu dan melampaui batas atau menyentuh hak dan
maruah orang lain.
Harus
diakui bahwa manusia memang berbeda pandangan dan pendirian, bebas membuat
pentafsiran terhadap sesuatu yang dirasakan benar baginya, tetapi manusia juga
mempunyai akal dan pertimbangan secara etis dan berperadaban. Kalau tidak
prihatin kepada hal itu , maka
selanjutnya kita selalu dalam petaka.
Lidah
memang tak bertulang, pepatah itu menggambarkan betapa sulit mengatur lidah
ini. Terkadang dalam tempat-tempat perkumpulan, keadaan menjadi semakin seru
bahkan akan menjadi segar, bila seseorang menyodorkan gosip 'baru'. Terlebih
bila sang pencetus ‘gosip' pernah merasa dirugikan oleh 'sang calon' pesakitan.
Yang ini bisa jadi akan tambah seru. Dia pernah disakiti, disinggung,
dipermalukan, dijahili, ataupun yang serupa dengan itu. Maka rem lidah
benar-benar sering blong.
Bila
menghadapi kondisi 'menarik' seperti ini ungkapan cucu Rasulullah saw,
Al-Husain ra mungkin bisa menjadi mizan (pertimbangan) bagi kita,
"Seseorang yang menceritakan keburukan orang lain di hadapanmu, boleh jadi
dia akan menceritakan keburukanmu (juga) pada orang lain."
***
Dalam
sebuah perjalanan ke suatu daerah, para sahabat diatur agar setiap dua orang
yang mampu, membantu seorang yang tak mampu (tentang makan-minum). Kebetulan
Salman Al Farisi diikutkan pada dua orang, tetapi ketika itu ia lupa tidak
melayani keperluan keduanya. Ia disuruh minta lauk pauk kepada Rasulullah saw.
Dan setelah ia berangkat, keduanya berkata, "Seandainya ia pergi ke sumur,
pasti surutlah sumurnya."
Sewaktu
Salman menghadap, beliau bersabda, "Sampaikan kepada kedua temanmu bahwa
kalian sudah makan lauk pauknya." Setelah ia menyampaikan kepada mereka
berdua, lalu keduanya menghadap kepada Nabi saw dan katanya, "Kami tidak
makan lauk pauk dan seharian kami tidak makan daging." Kemudian Rasulullah
bersabda, "Kalian telah mengatakan saudaramu (Salman) begini-begitu.
Maukan kalian memakan daging orang mati?" Mereka menjawab,
"Tidak!" "Jika kalian tidak mau makan daging orang mati, maka
janganlah kalian ghibah mengatakan kejelekan orang lain, sebab yang demikian
itu berarti memakan daging saudaranya sendiri."
Menurut
Ibnu Abbas, kisah tersebut yang melatarbelakangi diturunkannya surat Al-Hujarat:
12. "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (buruk),
karena setengahnya itu dosa, dan janganlah menyelidiki kesalahan orang lain,
dan jangan pula setengah kamu menggunjing (ghibah) atas sebagian yang lainnya.
Maukah seseorang di antara kamu makan daging saudaranya yang mati? Pasti kamu
jijik (tidak mau). Bertaqwalah kepada Allah, bahwasannya Allah menerima taubat
lagi Penyayang."
***
Imam
Sya'bi adalah salah seorang syekh di kota Basrah, pada suatu hari beliau
berceramah di hadapan murid²nya, tersebutlah seorang murid duduk disampingnya,
yang mulai sejak awal Imam Sya'bi berbicara tidak pernah ia bertanya atau
berkata-kata sepatah katapun, tidak seperti murid-muridnya yang lain, maka
bertanyalah Imam Sya'bi kepada muridnya yang satu ini ;
"Mengapa
engkau tidak berkata sepatah katapun .....?"
Anak
muda itu menjawab, dengan sebuah kalimat bijak," Oo, Aku diam, maka aku
selamat. Aku mendengarkan, maka aku tahu. Sesungguhnya manusia itu mempunyai
bagian masing-masing, di telinganya, bagian itu untuknya, di lidahnya bagian
itu untuk orang lain. Seseorang justru tertimpa celaka karena terpeleset
lidahnya, dan tidaklah ia terkena bahaya lantaran terpeleset kakinya, apabila
ia terpeleset kakinya ia akan sembuh kembali dalam waktu yang tidak lama,
tetapi apabila ia terpeleset gara-gara perkataannya bisa saja ia kehilangan
kepalanya."
Di
Basrah pernah kedatangan seorang pria yang disangka wali dan tampaknya sangat
alim. Penduduk kota itu memuja-muja sang wali lantaran melihat pakaiannya yang
serba taqwa, jubahnya tebal, sorbannya panjang, dan biji tasbihnya besar-besar,
ia begitu dihormati, dan penduduk banyak memberikan sedekah kepadanya. Hingga
dalam tempo singkat wali itu menjadi kaya raya, tetapi sebutirpun belum pernah
wali itu memberikan ilmu kepada penduduk Basrah sampai saatnya ia akan
meninggalkan kota itu. Sehingga Imam Hasan Al Bashri ingin tahu, siapa gerangan
dia, dan sejauh mana ketakwaan dan kealimannya. Maka didatanginya wali tersebut
di penginapannya, kepada sang wali Imam Hasan Al Bashri bertanya ," Dari
mana Tuan memperoleh derajat kewalian?"
Orang
itu dengan congkak menjawab," dari Allah ". Dengan ucapan seringkas
itu tahulah Imam Hasan Al Bashri bahwa orang tersebut bukan wali, melainkan
seorang penipu belaka. Seyogyanya ia berkata, "Maaf, saya bukan
wali." Sebab tidak ada seorangpun yang mengaku dirinya wali adalah
benar-benar wali. Derajat kewalian tidak pernah disadari oleh yang
bersangkutan, derajat kewalian hanya dirasakan oleh orang-orang yang memahami
betapa beratnya menjadi orang saleh, yang memilih kebajikan bagi orang lain
daripada keuntungan buat diri sendiri.
Inilah
Bencana Lidah itu
Lidah
adalah salah satu ayat Allah, juga salah satu nikmat-Nya. Maka wajiblah manusia
memeliharanya dari dosa dan kemaksiatan, serta menjaganya dari ucapan-ucapan
yang bisa menimbulkan penyesalan dan kerugian. Lidah akan menjadi saksi pada
hari kiamat. "Pada hari ketika lidah, tangan dan kaki menjadi saksi atas
mereka terhadap apa-apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. 24:24)
Lidah
termasuk nikmat Allah SWT yang sangat besar bagi manusia. Kebaikan yang
diucapkannya melahirkan manfaat yang luas dan kejelekan yang dikatakannya
membuahkan ekor keburukan yang panjang. Karena dia tidak bertulang, dia tidak
sulit untuk digerakkan dan dipergunakan. Dia adalah alat paling penting yang
bisa dimanfaatkan oleh syaithan dalam menjerumuskan manusia.
Bahaya
Lidah itu sebenarnya ada banyak, salah satunya adalah..
1.
Alkalaamu fimaa laa ya'nihi (Ungkapan yang tidak berguna)
Nabi
Saw. telah bersabda: "Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat antara
dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk
surga. ( Muttafaq ‘alaih, dari Sahl bin Sa'ad)
Kadang
seseorang mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan dan tanpa dipertimbangkan
sebelumnya, sehingga menimbulkan kerugian dan penyesalan.
"Sesungguhnya
seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang
menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara
timur dan barat". (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)
Kita
hendaknya hanya mengucapkan sesuatu yang bermanfaat, karena ucapan yang mubah
dapat mengarah kapada hal yang makruh atau haram.
"Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berbicara yang baik atau
diam". (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)
Bila
seseorang telah mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas segala yang
ucapan lidahnya, maka dia akan tahu bahaya kata-kata yang diucapkan lidah, dan
dia pun akan mempertimbangkan dengan matang sebelum lidahnya dipergunakan.
Allah berfirman: "Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, kecuali di
dekatnya ada malaikat Raqib dan ‘Atid." (QS.Qoof: 18)
2.
Fudhulul Kalaam (Berbicara yang berlebihan)
Lidah
memiliki kesempatan yang sangat luas untuk taat kepada Allah dan berdzikir
kepadanya, tetapi juga memungkinkan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan
berbicara berlebihan. Semestinya kita mampu mengendalikan lidah untuk berdzikir
dan taat kepada Allah, sehingga bisa meninggikan derajat kita. Sedangkan banyak
berbicara tanpa dzikir kepada Allah akan mengeraskan hati, dan menjauhkan diri
dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Menuju
surga cepat dengan lisan, menuju nerakapun cepat dengan lisan. Lisan bagai
‘jaring' kalau menjaringnya baik akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya
jika tidak hasilnya akan sedikit dan melelahkan. Kata orang lidah tidak
bertulang, maka lebih senang mengatakan apa-apa tanpa berfikir. Bahaya lidah
ini sebenarnya besar sekali. Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, "Tiada
akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan
lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. dan seorang hamba tidak akan
memasuki syurga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya."
Allah
telah memberikan batasan tentang pembicaraan agar arahan pembicaran kita
bermanfaat dan berdampak terhadap sesama, sebagaimana firman-Nya: "Tidak
ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan
dari orang yang menyuruh (manusia) memberi shodaqoh atau berbuat ma'ruf atau
mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian
karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang
besar." (Annisa:114)
0 comments:
Post a Comment