Sunday, November 30, 2014

Ceramah

Al-Afaatul Lisan (Bahaya Lidah)

Assalamualaikum Wr. Wb.
Assolatuwassalam wa’ala asrofil anbiya’iwarmusalin ..Wa’ala alihi washohbihi ajmain amma ba’du. Puji syukur kepada tuhan seluruh sekalian alam, Allah SWT. Atas rahmat dan hidayahnya kita dapat berkumpul lagi pada hari ini disini. Shalawat serta salam selalu kita junjung kepada nabi besar SAW. Serta pengikutnya hingga akhir jaman.
Pada siang hari ini saya, Naufal Aditya Dirgandhavi, akan berkultum yang berjudul Al-Afaatul Lisan atau Bahaya Lidah
DUA hal penting yang sering diingatkan Islam kepada kita-manusia- adalah menjaga dan memelihara dengan baik lidah dan tingkah laku. Rasulullah saw. berpesan kepada kita semua yaitu,"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Qiyamat hendaklah berkata yang baik atau diam." Pesan ini menekankan tentang pentingnya menjaga tutur kata, tidak mengucapkan hal yang buruk dan menyakiti hati, karena bertutur sembarang tanpa pikir akan membawa kepada krisis lain yaitu permusuhan, kekacauan bahkan pertumpahan darah.
Maka dengan menjaga lidah dan tutur kata, dapat dipastikan akan terjalinnya kehidupan yang tenteram, damai dan sejahtera di tengah masyarakat sepanjang masa. Dalam konteks inilah Rasulullah saw berpesan supaya menjaga lidah dan tingkah laku agar tidak mengganggu dan melampaui batas atau menyentuh hak dan maruah orang lain.
Harus diakui bahwa manusia memang berbeda pandangan dan pendirian, bebas membuat pentafsiran terhadap sesuatu yang dirasakan benar baginya, tetapi manusia juga mempunyai akal dan pertimbangan secara etis dan berperadaban. Kalau tidak prihatin kepada hal itu ,  maka selanjutnya kita selalu dalam petaka.
Lidah memang tak bertulang, pepatah itu menggambarkan betapa sulit mengatur lidah ini. Terkadang dalam tempat-tempat perkumpulan, keadaan menjadi semakin seru bahkan akan menjadi segar, bila seseorang menyodorkan gosip 'baru'. Terlebih bila sang pencetus ‘gosip' pernah merasa dirugikan oleh 'sang calon' pesakitan. Yang ini bisa jadi akan tambah seru. Dia pernah disakiti, disinggung, dipermalukan, dijahili, ataupun yang serupa dengan itu. Maka rem lidah benar-benar sering blong.
Bila menghadapi kondisi 'menarik' seperti ini ungkapan cucu Rasulullah saw, Al-Husain ra mungkin bisa menjadi mizan (pertimbangan) bagi kita, "Seseorang yang menceritakan keburukan orang lain di hadapanmu, boleh jadi dia akan menceritakan keburukanmu (juga) pada orang lain."
***
Dalam sebuah perjalanan ke suatu daerah, para sahabat diatur agar setiap dua orang yang mampu, membantu seorang yang tak mampu (tentang makan-minum). Kebetulan Salman Al Farisi diikutkan pada dua orang, tetapi ketika itu ia lupa tidak melayani keperluan keduanya. Ia disuruh minta lauk pauk kepada Rasulullah saw. Dan setelah ia berangkat, keduanya berkata, "Seandainya ia pergi ke sumur, pasti surutlah sumurnya."

Sewaktu Salman menghadap, beliau bersabda, "Sampaikan kepada kedua temanmu bahwa kalian sudah makan lauk pauknya." Setelah ia menyampaikan kepada mereka berdua, lalu keduanya menghadap kepada Nabi saw dan katanya, "Kami tidak makan lauk pauk dan seharian kami tidak makan daging." Kemudian Rasulullah bersabda, "Kalian telah mengatakan saudaramu (Salman) begini-begitu. Maukan kalian memakan daging orang mati?" Mereka menjawab, "Tidak!" "Jika kalian tidak mau makan daging orang mati, maka janganlah kalian ghibah mengatakan kejelekan orang lain, sebab yang demikian itu berarti memakan daging saudaranya sendiri."

Menurut Ibnu Abbas, kisah tersebut yang melatarbelakangi diturunkannya surat Al-Hujarat: 12. "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (buruk), karena setengahnya itu dosa, dan janganlah menyelidiki kesalahan orang lain, dan jangan pula setengah kamu menggunjing (ghibah) atas sebagian yang lainnya. Maukah seseorang di antara kamu makan daging saudaranya yang mati? Pasti kamu jijik (tidak mau). Bertaqwalah kepada Allah, bahwasannya Allah menerima taubat lagi Penyayang."
***
Imam Sya'bi adalah salah seorang syekh di kota Basrah, pada suatu hari beliau berceramah di hadapan murid²nya, tersebutlah seorang murid duduk disampingnya, yang mulai sejak awal Imam Sya'bi berbicara tidak pernah ia bertanya atau berkata-kata sepatah katapun, tidak seperti murid-muridnya yang lain, maka bertanyalah Imam Sya'bi kepada muridnya yang satu ini ;
"Mengapa engkau tidak berkata sepatah katapun .....?"
Anak muda itu menjawab, dengan sebuah kalimat bijak," Oo, Aku diam, maka aku selamat. Aku mendengarkan, maka aku tahu. Sesungguhnya manusia itu mempunyai bagian masing-masing, di telinganya, bagian itu untuknya, di lidahnya bagian itu untuk orang lain. Seseorang justru tertimpa celaka karena terpeleset lidahnya, dan tidaklah ia terkena bahaya lantaran terpeleset kakinya, apabila ia terpeleset kakinya ia akan sembuh kembali dalam waktu yang tidak lama, tetapi apabila ia terpeleset gara-gara perkataannya bisa saja ia kehilangan kepalanya."

Di Basrah pernah kedatangan seorang pria yang disangka wali dan tampaknya sangat alim. Penduduk kota itu memuja-muja sang wali lantaran melihat pakaiannya yang serba taqwa, jubahnya tebal, sorbannya panjang, dan biji tasbihnya besar-besar, ia begitu dihormati, dan penduduk banyak memberikan sedekah kepadanya. Hingga dalam tempo singkat wali itu menjadi kaya raya, tetapi sebutirpun belum pernah wali itu memberikan ilmu kepada penduduk Basrah sampai saatnya ia akan meninggalkan kota itu. Sehingga Imam Hasan Al Bashri ingin tahu, siapa gerangan dia, dan sejauh mana ketakwaan dan kealimannya. Maka didatanginya wali tersebut di penginapannya, kepada sang wali Imam Hasan Al Bashri bertanya ," Dari mana Tuan memperoleh derajat kewalian?"
Orang itu dengan congkak menjawab," dari Allah ". Dengan ucapan seringkas itu tahulah Imam Hasan Al Bashri bahwa orang tersebut bukan wali, melainkan seorang penipu belaka. Seyogyanya ia berkata, "Maaf, saya bukan wali." Sebab tidak ada seorangpun yang mengaku dirinya wali adalah benar-benar wali. Derajat kewalian tidak pernah disadari oleh yang bersangkutan, derajat kewalian hanya dirasakan oleh orang-orang yang memahami betapa beratnya menjadi orang saleh, yang memilih kebajikan bagi orang lain daripada keuntungan buat diri sendiri.
Inilah Bencana Lidah itu
Lidah adalah salah satu ayat Allah, juga salah satu nikmat-Nya. Maka wajiblah manusia memeliharanya dari dosa dan kemaksiatan, serta menjaganya dari ucapan-ucapan yang bisa menimbulkan penyesalan dan kerugian. Lidah akan menjadi saksi pada hari kiamat. "Pada hari ketika lidah, tangan dan kaki menjadi saksi atas mereka terhadap apa-apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. 24:24)

Lidah termasuk nikmat Allah SWT yang sangat besar bagi manusia. Kebaikan yang diucapkannya melahirkan manfaat yang luas dan kejelekan yang dikatakannya membuahkan ekor keburukan yang panjang. Karena dia tidak bertulang, dia tidak sulit untuk digerakkan dan dipergunakan. Dia adalah alat paling penting yang bisa dimanfaatkan oleh syaithan dalam menjerumuskan manusia. 
Bahaya Lidah itu sebenarnya ada banyak, salah satunya adalah..
1. Alkalaamu fimaa laa ya'nihi (Ungkapan yang tidak berguna)
Nabi Saw. telah bersabda: "Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat antara dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk surga. ( Muttafaq ‘alaih, dari Sahl bin Sa'ad)
Kadang seseorang mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan dan tanpa dipertimbangkan sebelumnya, sehingga menimbulkan kerugian dan penyesalan.

"Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat". (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)

Kita hendaknya hanya mengucapkan sesuatu yang bermanfaat, karena ucapan yang mubah dapat mengarah kapada hal yang makruh atau haram.
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berbicara yang baik atau diam". (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)

Bila seseorang telah mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas segala yang ucapan lidahnya, maka dia akan tahu bahaya kata-kata yang diucapkan lidah, dan dia pun akan mempertimbangkan dengan matang sebelum lidahnya dipergunakan. Allah berfirman: "Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, kecuali di dekatnya ada malaikat Raqib dan ‘Atid." (QS.Qoof: 18)

2. Fudhulul Kalaam (Berbicara yang berlebihan)
Lidah memiliki kesempatan yang sangat luas untuk taat kepada Allah dan berdzikir kepadanya, tetapi juga memungkinkan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan berbicara berlebihan. Semestinya kita mampu mengendalikan lidah untuk berdzikir dan taat kepada Allah, sehingga bisa meninggikan derajat kita. Sedangkan banyak berbicara tanpa dzikir kepada Allah akan mengeraskan hati, dan menjauhkan diri dari Allah ‘Azza wa Jalla.

Menuju surga cepat dengan lisan, menuju nerakapun cepat dengan lisan. Lisan bagai ‘jaring' kalau menjaringnya baik akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya jika tidak hasilnya akan sedikit dan melelahkan. Kata orang lidah tidak bertulang, maka lebih senang mengatakan apa-apa tanpa berfikir. Bahaya lidah ini sebenarnya besar sekali. Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, "Tiada akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. dan seorang hamba tidak akan memasuki syurga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya."

Allah telah memberikan batasan tentang pembicaraan agar arahan pembicaran kita bermanfaat dan berdampak terhadap sesama, sebagaimana firman-Nya: "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi shodaqoh atau berbuat ma'ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar." (Annisa:114)


0 comments:

Post a Comment