Data dan
Fakta Budaya Kaltim
·
Keraton
Suku Dayak pernah membangun sebuah
kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”,
yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang
diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian
tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah
pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala
dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan
berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan
Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah
seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga
berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke
Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf
kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi
masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah
hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan
penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena
mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka
tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih
disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan
peralatan keramik
·
Pesisir
Belum
lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, Jawa pada masa kejayaan Kerajaan
Majapahit, suku Dayak hidup terpencar-pencar diseluruh wilayah Kalimantan dalam
rentang waktu yang lama,mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga
ke hilir kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.Suku ini terdiri atas
beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku yang berbeda-beda.
Sedangkan
orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke
pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai,
Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi
terus terdesak masuk rimba.
·
Pedalaman
Suku
dayak merupakan suku asli dari kalimantan yang hidup berkelompok dan tinggal di
daerah pedalaman seperti digunung dan sebagainya.kata dayak sebenarnya
diberikan oleh orang mmelayu yang datang ke kalimantan.semboyan orang dayak
adalah “menteng ueh mamut” ,yang artinya seseorang yang memiliki kekuatan gagah
berani , serta tidak mengenal menyerah atau pantang mundur.
Pada tahun 1977-1978 saat itu
benua Asia dan pulau Kalimantan merupakan bagian nusantara yang menyatu yang
memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di
Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan
“Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun
setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka
makin lama makin mundur ke dalam.
Upacara Tiwah merupakan acara
adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran
tulang orang yang sudah meninggal ke sandung yang sudah dibuat. Sandung adalah
tempat semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah
meninggal dunia. Upacara Tiwah bagi suku Dayak
sangatlah sakral, Pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang mati
tersebut diantarkan dan diletakan di tempatnya (Sandung), banyak sekali acara-acara
ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain, Sampai akhrinya tulang-tulang
itu diletakan pada temapatnya (sandung).
Dunia Supranatural bagi suku
Dayak memang sudah sejak zaman dulu merupakan ciri khas Kebudayaan Dayak.Karena
supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan
manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya suku Dayak adalah suku yang sangat
Cinta Damai asal mereka tidak diganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan
supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang.
Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari
keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media
burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok merah merupakan media
persatuan suku Dayak. Mangkok merah beredar jika Suku Dayak merasa kedaulatan
mereka dalam bahaya besar. “PANGLIMA” atau suku Dayak sering menyebutnya
Pangkalima biasanya mengeluarkan isyiarat siaga atau perang berupa mangkok merah
yang diedarkan dari kampung ke kanpung secara cepar sekali. Dari penampilan
sehari-hari banyak orang tidak mengetahui siapa pangkalima suku Dayak itu.
Orangnya itu bisa-biasa saja, hanya saja ia memiliki kekuatan Supranatural yang
luar biasa.
Mangkok merah tidak sembarangan
diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk
mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu
roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima
tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan
menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan
mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa
sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki
roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati
korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah
orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk
keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis
akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras
bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk
bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan
lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan
keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam
merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan
bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk
tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan.
Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan
kain merah.
0 comments:
Post a Comment